Agresi Militer Belanda II
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia
Agresi
Militer Belanda II
Operatie Kraai |
|||||||||||
|
|||||||||||
Pihak
yang terlibat
|
|||||||||||
Komandan
|
|||||||||||
Kekuatan
|
|||||||||||
Agresi Militer
Belanda II atau Operasi
Gagak terjadi pada 19
Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu,
serta penangkapan Soekarno, Mohammad
Hatta, Sjahrir dan beberapa
tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin
oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Pada hari
pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan
Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di
Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan
bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga
kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.
Daftar isi
- 1 Serangan ke Maguwo
- 2 Pemerintahan Darurat
- 3 Pengasingan Pimpinan Republik
- 4 Gerilya
- 5 Referensi
- 6 Referensi
- 7 Lihat pula
Serangan ke Maguwo
Tanggal 18
Desember 1948 pukul 23.30,
siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi
Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.
Sementara itu
Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI
memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai
penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi
Kraai" .
Pukul 2.00 pagi
1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh
parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul
3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di
bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan
inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah
pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama
tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan
Hindia. Pukul 6.25
mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan
telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan
penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19
Desember 1948, WTM Beel
berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah
Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian
dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten
dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan
terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang
Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan
tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya
terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan
yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7.
Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat
dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota
menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo
hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke
tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas,
sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul
9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul
11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon,
1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan
Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke
Yogyakarta.
Serangan
terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan
payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur,
dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember
malam hari.
Segera setelah
mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima
Besar Soedirman mengeluarkan
perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19
Desember 1948 pukul
08.00.
Pemerintahan Darurat
Soedirman dalam keadaan
sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel
Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya.
Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak
diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar
ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi,
akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota.
Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang
kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden
berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak.
Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya.
Menteri Laoh mengatakan
bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan
Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan
KTN sebagai wakil PBB. Setelah
dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan
Wakil Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan
rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan
sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden
dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden
dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di
Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil
alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu,
untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk
pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India,
dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.
N. Palar dan Menteri
Keuangan Mr. A.A.
Maramis yang sedang
berada di New
Delhi.
Empat Menteri
yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut
tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J.
Kasimo, Menteri
Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri
Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19
Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara
untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat
dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile
Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21
Desember 1948, keempat
Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh
Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa,
bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam
Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
Pengasingan Pimpinan Republik
Pada pukul
07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para
pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk
diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan
pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah
tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam
pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah
mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati
Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau
Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan
Sjahrir, dan Menteri
Luar Negeri Haji Agus
Salim terus
diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera
Utara, untuk
kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara
Drs. Moh.
Hatta (Wakil
Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP)
dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara
Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan
dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan
khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Gerilya
Setelah itu Soedirman meninggalkan
Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama
delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa
Tengah dan Jawa
Timur. Tidak jarang
Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras.
Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke
Yogyakarta pada tanggal 10
Juli 1949.
Kolonel A.H.
Nasution, selaku
Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter
yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu
pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah
federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan
membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi
medan gerilya yang luas.
Salah satu
pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19
Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju
daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa
Barat. Perjalanan
ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan
yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa
lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat
mereka bergabung dengan DI/TII karena NII telah memproklamirkan kemerdekaannya
pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda saat itu, dan pada akhirnya sejarah
mencatat dengan ketidakjelasan mengenai hal ini.
Serangan ke Yogyakarta dan Pemerintahan Darurat
Sebenarnya, agresi
militer Belanda II ini dipicu juga oleh situasi politik di Belanda sana. Pada 6
Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi Perdana
Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia
menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge
Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia.
Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Ketika itu,
jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapuskan.
Diangkatnya Dr. Beel
menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan pentingnya masalah Indonesia bagi
Belanda. Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan
untuk menyelesaikan masalah Indonesia, setelahProfesor Schermerhorn. Beel
termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda,
yang tak ingin memberikan konsesi apapun kepada pihak republik, sangat berbeda
dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis. Dengan pengangkatan Dr. Beel,
Belanda menunjukkan wajah kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin
menghancurkan TNI mendapatkan dukungan politik.
Tanggal 19 Desember
1948 Dr. Bell, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, mengucapkan pidato penting. Jenderal
Spoor kemudian memberi perintah ke seluruh pasukan Belanda di Sumatra dan Jawa
untuk melakukan serangan terhadap republik. Pada tanggal 19 Desember 1948, pagi
hari sekitar pukul 06.45, pasukan Ie Para-Compagnie Korps Speciale Troepen
(KST) dipimpin Kapten Eekhout terjun di bandar udara Maguwo, setelah pada dini
harinya Mayor Jenderal Engles dan Jenderal Spoor berkordinasi di bandar udara
Andir.
Lagi-lagi Belanda
mengingkari perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya, yakni Perjanjian
Renville. Dr. Bell, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, pada 19 Desember 1948,
seiring penyerangan ke bandar udara Maguwo mengungkapkan bahwa Belanda tak lagi
terikat Perjanjian Renville. Dimulailah agresi militer Belanda II, yang oleh
Belanda tetap disebut aksi polisional. Bandar udara Maguwo dibombardir pada 19
Desember 1948 pagi harinya. Pertempuran di Maguwo berlangsung relatif singkat,
akibat pertahanan TNI yang minim, hanya 25 menit saja Maguwo berhasil direbut
pasukan KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Siang harinya, pasukan Belanda
yang jumlahnya ribuan sudah berkumpul di Maguwo untuk memulai pergerakan ke
Yogyakarta. Pasukan tersebut terdiri atas 432 anggota KST, 2.600 Grup Tempur M,
dan 1.900 Brigade T dipimpin D.R.A. van Langen.
Mirip serangan ke bandar udara Maguwo, Yogyakarta pun habis dibombardir dan beberapa pasukan terjun payung mendarat. Kabinet pun menggelar sidang kilat yang menghasilkan keputusan, para pemimpin republik tetap berada di dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Pangliman Besar Sudirman, pada pukul 08.00 membacakan perintah kilat di radio. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta membuat surat kuasa untuk Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang tengah ada di Bukittinggi untuk membentuk kabinet dan mengambil alih pemerintah pusat untuk sementara waktu.
Mirip serangan ke bandar udara Maguwo, Yogyakarta pun habis dibombardir dan beberapa pasukan terjun payung mendarat. Kabinet pun menggelar sidang kilat yang menghasilkan keputusan, para pemimpin republik tetap berada di dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Pangliman Besar Sudirman, pada pukul 08.00 membacakan perintah kilat di radio. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta membuat surat kuasa untuk Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang tengah ada di Bukittinggi untuk membentuk kabinet dan mengambil alih pemerintah pusat untuk sementara waktu.
Pemerintahan
Syafruddin ini dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk
pemerintahan di Sumatra, dibuat juga surat kepada Duta Besar RI untuk India,
dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr.
A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi untuk membentuk exile government
of Republic Indonesia di New Delhi, India, jika PDRI gagal.
PDRI sendiri resmi terbentuk pada tanggal 19 Desember 1948 pukul18.00 WIB atas inisiatif Mr. Syarifudin Prawiranegara dan beberapa pemuka pemerintahan di Sumatra. Para pemimpin republik di Sumatra itu merasa ikut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup republik dan untuk keselamatan perjuangan.Dengan terbentuknya PDRI, perjuangan masih tetap dilaksanakan dan dikoordinir melalui pemancar yang dilaksanakan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia. Sedangkan, para pemimpin republik di Yogyakarta berhasil ditangkap Belanda.
PDRI sendiri resmi terbentuk pada tanggal 19 Desember 1948 pukul18.00 WIB atas inisiatif Mr. Syarifudin Prawiranegara dan beberapa pemuka pemerintahan di Sumatra. Para pemimpin republik di Sumatra itu merasa ikut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup republik dan untuk keselamatan perjuangan.Dengan terbentuknya PDRI, perjuangan masih tetap dilaksanakan dan dikoordinir melalui pemancar yang dilaksanakan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia. Sedangkan, para pemimpin republik di Yogyakarta berhasil ditangkap Belanda.
Beberapa pejabat
republik yang sedang tidak di Yogyakarta, seperti Menteri Dalam Negeri dr.
Sukiman, Menteri Persediaan Makanan Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan
Pemuda Supeno, dan Menteri Kehakiman Mr. Susanto yang tidak mengetahui adanya
PDRI di bawah Syafrudin Prawiranegara, membentuk sebuah pemerintahan pusat yang
diserahkan kepada 3 orang menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehakiman, Menteri Perhubungan pada 21 Desember 1948. Para pemimpin yang
tertangkap diasingkan ke beberapa daerah, Presiden Soekarno, Agus Salim, dan
Sutan Sjahrir diasingkan ke Brastagi dan Parapat; Moh. Hatta, RS. Soerjadarma,
Mr. Asaat, dan AG. Pringgodigdo dibawa ke Bukit Menumbing Mentok, Pangkal
Pinang, dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam
pengawalan pasukan khusus Belanda, Korps Speciale Troepen.
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar